Mataram – Sebelum dilakukan penindakan terhadap pelaku yang mengedarkan rokol ilegal, Bea Cukai Mataram selalu melakukan sosialisasi terebih dulu. Sosialisasi dilakukan dalam dua jenis kegiatan, yaitu sosialisasi operasi pasar dan sosialisasi penegakan hukum.
Penegasan itu disampaikan dalam kegiatan audiensi Lembaga Matari dengan Bea Cukai Mataram yang digelar pada Rabu, 21 Desember 2022 lalu.
Kepala Kantor Bea Cukai, Kitty Kartika menilai, salah satu tugas Bea Cukai yaitu melindungi masyarakat dari barang-barang yang dibatasi. Cukai itu adalah kompensasi dari barang yang dibatasi. Ia juga menyampaikan, pengaturan anggaran DBHCHT yaitu 50 persen kesejateraan, 40 persen kesehatan, dan 10 persen untuk penegakan hukum. Dana DBHCHT tersebut ada di Pemda, sehingga Pemda yang melakukan sosialisasi dengan mengundang Bea Cukai atau pihak lain yang bersangkutan.
“Perlu dipastikan dulu bahwa pedagang kecil itu tidak tahu hukum atau tidak takut terhadap sanksi dari hukum itu sendiri. Sosialisasi langsung ke lapangan yang dinamakan operasi pasar, tetapi tidak langsung ditindak atau diangkut karena memang diniatkan untuk sosialisasi,” jelas Kitty.
Ia juga menyampaikan, Satpol PP tidak berhak mengadili para pedagang rokok ilegal di NTB, tetapi yang berhak yaitu Bea Cukai. Kitty menegaskan, rokok ilegal harus diberantas karena itu perintah Undang-Undang.
Pada audiensi itu, dari Bea Cukai hadir Kepala Kantor Bea Cukai, Kitty Kartika; Kepala Seksi Bidang Internal dan Penyuluhan, Cahyanto; Kasubag Umum, Arya; Kepala Seksi Pembedaharaan, Widaya; Unit Pengawasan, Hambali; dan Seksi Pelayanan, Rizky. Dari MATARI hadir tujuh perwakilan, yaitu Dewan Pembina, Dian Sandi Utama; Ketua, Ripzy AL; sekretaris; dan anggota.
Unit Pengawasan Bea Cukai, Hambali mengatakan, terkait dengan dana DBHCHT, penegakan hukum sebesar 10 persen. Pemerintah Daerah membagi ke beberapa bagian yaitu pemberantasan, sosialisasi, dan KIHT. Sosialisasi operasi pasar bersama Satgas dilakukan agar masyarakat dapat mengetahui secara langsung perihal rokok ilegal dan rokok legal. “Setiap penindakan rokok ilegal harus dilakukan dengan petugas bea cukai,” ujarnya.
Kasubag Umum Bea Cukai, Arya mengatakan, Bea Cukai membuat strategi-strategi prioritas yang dilakukan oleh unit penyidikan. “Kenapa pedagang kecil harus ditindak? karena sebelumnya bea cukai sudah melakukan penyuluhan dan sosialisasi. Bahkan walaupun terjadi penyitaan, di sana ada eksekusi. Selama ini bea cukai melakukan penyitaan dan kemudian dimusnahkan,” ujarnya.
Arya menambahkan, pihaknya membutuhkan kerja sama dengan Lembaga seperti MATARI untuk mengamati lapangan dan jika ada kasus maka bisa dilaporakan ke Bea Cukai. “Kami setuju bahwa treatment untuk menghentikan pelanggaran yakni memperkuat sosialisasi,” ujarnya.
Dewan Pembina Matari, Dian Sandi Utama mengatakan pihaknya hadir untuk meminta Bea Cukai yang juga bagian dari Satgas agar sebelum terjadinya penindakan, para pedagang kecil ini diundang terlebih dahulu untuk mendapatkan edukasi hukum terkait peredaran rokok illegal.
“Pemda (Pol-PP) harus bersinergi/membangun mitra dengan lembaga-lembaga yang fokus terhadap isu peredaran rokok illegal. Penegakan hukum itu baik tapi alangkah lebih baik lagi jika tidak hanya bermain di hilir saja sehingga menyebabkan kerugian bagi pedagang kecil, dari hulu juga harus diperkuat dengan sosialisasi yang maksimal agar para pedagang kecil lebih memahami hukum yang dilanggar,” saran Dian Sandi Utama.
Ketentuan terbaru mengenai penggunaan, pemantauan, dan evaluasi DBHCHT telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 215/PMK.07/2021 dengan pokok pengaturan, yaitu empat puluh persen untuk kesehatan, kemudian lima puluh persen untuk Kesejahteraan Masyarakat (termasuk tiga puluh persen peningkatan kualitas bahan baku, peningkatan keterampilan kerja dan pembinaan industri dan dua puluh persen pemberian bantuan) serta sepuluh persen untuk penegakan hukum.
Sosialisasi tentang Pidana Rokok Ilegal
Pengedar ataupun penjual rokok ilegal termasuk melakukan pelanggaran yang dapat berpotensi sebagai pelanggaran pidana. Sanksi untuk pelanggaran tersebut mengacu pada Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai.
Ancaman pidana ini diatur dalam pasal 54 dan pasal 56 Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai. Bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Dalam Pasal 54, “Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya, sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) Maka dipidana dengan pidana Penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang harus dibayar.”
Dalam Pasal 56, “Setiap orang yang menimbun, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut diduga berasal dari tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini. Maka dipidana paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.”
Bagaimana mengenal rokok ilegal?
Ciri-ciri rokok ilegal dengan metode sederhana, yaitu pengamatan secara langsung. Cirinya adalah rokok tanpa pita cukai, rokok dengan pita cukai bekas, rokok dengan pita cukai palsu, dan rokok dengan pita cukai salah peruntukan.
Maka siapapun yang sedang menjalankan bisnis rokok dengan cukai ilegal, maka disarankan hentikan dari sekarang. Hal ini gencar disosialisasikan stakeholders yang terlibat, seperti Bea Cukai, Sat Pol PP Provinsi NTB, Bappeda NTB, serta Pemda Kabupaten dan Kota. (*)